Thursday, March 17, 2011

Sejarah, Fungsi, serta nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian 'Jentreng Tarawangsa', Cijere, Rancakalong.

Kesenian jentreng tarawangsa merupakan salah satu jenis seni tari tradisional yang dipunyai di kawasan sumedang, tepatnya rancakalong. seni tersebut merupakan hasil pembudayaan pada masyarakat lampau, yang mempunyai tujuan tertentu guna menjaga keseimbangan sosial-budaya pada masyarakat rancakalong.


Kesenian Jentreng Tarawangsa, lahir dari adaptasi masyarakat akan lingkungan sekitar, jika di lihat dari monografi serta iklim daerah. Kawasan Rancakalong terletak pada dataran tinggi serta mempunyai iklim yang tropis, hal tersebut menjadikan Rancakalong menjadi salah satu kawasan agraris di Indonesia, yang membentuk sistem mata pencahariannya yaitu bertani. 


Menurut cerita masyarakat setempat, Kesenian Jentreng Tarawangsa merupakan bentukan dari rasa syukur mereka terhadap Dewi Sri atau Nyi Sri Pohaci (dewi kesuburan, dewi padi), serta sebagai rasa terima kasih terhadap leluhur mereka yang telah membawa bibit unggul tahan hama dari kerajaan Mataram, setelah pertanian di Rancakalong mengalami paceklik yang cukup lama.

Kesenian Jentreng Tarawangsa adalah warisan turun temurun yang di wariskan dari tiap generasi ke generasi, sebagai bentukan budaya yang dihasilkan oleh masyarakat Rancakalong. Kesenian ini masih dipertahankan hingga saat ini sejak abad ke-16 atau 17 ketika pada masa kerajaan Mataram. Namun saat ini pemahaman terhadap nilai yang hadir dalam kesenian tersebut sudah mulai terkikis oleh perkembangan jaman yang cenderung menuju kearah modernisasi. Dan peran orang tua pun untuk mewariskan nilai-nilai tentang kesenian tersebut sudah mulai cukup sulit, karena arus alkulturasi kebudayaan luar yang saling berbenturan dengan local genius yang ada pada masyarakat Rancakalong, khususnya di daerah dusun Cijere. Maka dari itu kesenian jentreng tarawangsa patut untuk kita pertahankan dan dilestarikan agar dapat di mengerti oleh generasi-generasi muda mendatang tentang esensi dari kesenian jentreng tarawangsa.



Sejarah Kesenian Tarawangsa

Sejarah dari kesenian jentreng tarawangsa hadir sebagai suatu dongeng di masyarakat Cijere, Rancakalong. Sejarah tersebut memang belum bisa dipastikan secara tepat, karena belum ada bukti secara material berupa tulisan tentang sejarah kesenian tersebut. Hal ini di sebabkan karena kurangnya budaya menulis pada masyarakat sunda pada zaman itu. Namun risalah tentang asal usul dari seni jentreng tarawangsa sudah menyebar dan menjadikan satu kepercayaan tersendiri bagi masyarakat Rancakalong, khususnya mayarakat dusun Cijere. Hal tersebut dapat dilihat dari cerita-cerita yang dikemukan oleh beberapa tetua adat di dusun Cijere. Namun dari beberapa tetua adat tersebut ada beberapa perbedaan tentang sejarah kesenian jentreng tarawangsa, akan tetapi inti dari semua cerita yang di kemukakan para tetua adat tersebut, ternyata mempunyai kesamaan. Kesamaan tersebut adalah kesenian jentreng tarawangsa merupakan suatu bentukan dari wujud rasa syukur terhadap Tuhan yang maha esa dan Dewi Sri (dewi padi pada masyarakat sunda) serta sebagai ucapan rasa terima kasih terhadap leluhur mereka yang telah mendapatkan bibit padi.

Menurut cerita setempat Konon dahulu di kawasan daerah Rancakalong, masyarakat Rancakalong mengkonsumsi hazeli1 sebagai makanan pokok mereka, namun karena hazeli sangat sulit di dapat maka mereka beralih untuk mengkonsumsi beras. Akhirnya mereka menanam padi untuk kebutuhan mereka, namun setiap mereka menanam padi selalu saja mengalami kegagalan, yaitu tumbuh padi namun tidak berisi beras (hapa). Karena hal itu mereka menjadi kelaparan. Akhirnya mereka harus bekerja keras untuk berfikir jalan terbaik membereskan bencana kelaparan tersebut. akhirnya terdengar berita bahwa di kerajaan mataram terdapat benih padi yang sangat baik. Maka dari itu di utuslah 5 orang utusan dari desa tersebut untuk meminta benih padi ke kerajaan mataram. Namun dalam praktek perjalanan tersebut mereka selalu mengalami hambatan untuk masuk menuju kerajaan mataram. Dalam perjalanan tersebut mereka mencoba berpikir keras untuk mendapatkan ide cara mengambil hati raja Mataram, dan akhirnya mereka menemukan sebuah cara itu yaitu mengamen. Setelah itu maka dibuatlah alat musik berbentuk hampir menyerupai rebab dan kecapi. Lalu mereka berkeliling di kawasan daerah Mataram sembari menabuh alat musik yang mereka bawa. Akhirnya berita tentang mereka sampai kepada telinga Raja Mataram. Mereka pun di panggil untuk memainkan kesenian yang mereka bawa di depan Raja Mataram. Setelah mereka menampilkan kesenian tersebut akhirnya Raja Mataram memberikan hadiah kepada mereka, hadiah tersebut permintaan dari para sesepuh dari Rancakalong berupa benih padi. Setelah mereka mendapatkan benih tersebut, akhirnya mereka pulang menuju Rancakalong, akan tetapi dalam perjalanannya mereka takut bertemu dengan para perampok, akhirnya benih padi tersebut di masukan ke dalam alat musik yang mereka bawa. Sesampai mereka di Rancakalong, akhirnya mereka disambut oleh para masyarakat dengan gembira, setelah itu pada keesokan harinya mereka mengadakan pesta dengan menampilkan alat musik yang telah membantu mereka mendapatkan benih padi.

Hingga saat ini pun masyarakat desa Rancakalong khususnya masyarakat dusun Cijere selalu menyajikan kesenian Jentreng tarawangsa di setiap upacara-upacara adatnya. terutama upacara yang berkaitan dengan padi yang mempunyai mitos akan Dewi Sri.
Fungsi Kesenian Jentreng Tarawangsa

Kesenian jentreng tarawangsa mempunyai fungsi tersendiri di dalam strktur masyarakat Rancakalong, yaitu :

• Sebagai media rasa syukur terhadap Tuhan yang maha esa atas semua limpahan hasil bumi yang telah mereka dapatkan.
• Penghormatan serta rasa terima kasih terhadap Dewi Sri (dewi padi / dewi ibu), dan agar dewi Sri betah untuk tetap tinggal di desa tersebut.
• Ungkapan terima kasih, serta penghormatan atas semua jasa-jasa para leluhur yang telah berjasa membawa benih padi dari mataram.
• Sebagai rasa suka cita atas hasil panen yang mereka dapatkan.

Namun karena perubahan zaman serta pengaruh dari berbagai aspek maka fungsi kesenian jentreng tarawangsa pun bertambah, yaitu :

• Sebagai event kepariwisataan daerah Rancakalong
• Sebagai penonjolan status sosial
• Penyambutan tamu terhormat
• Sebagai mata pencaharian

Simbol-Simbol Pada Kesenian Jentreng Tarawangsa 


Simbol merupakan suatu bentukan dari hasil karya yang mempunyai makna tersendiri bagi individu ataupun masyarakat yang memahaminya. Pengenalan terhadap simbol dapat di mengerti melalui pancaindera, dalam hal ini indera penglihatan dapat lebih berbicara, yang menyebabkan manusia mendapat suatu rangsangan, kemudian rangsangan tersebut diolah dalam pemikiran kita dan menjadikan sebuah persepsi awal terhadap pengenalan objektif ( fisik ). Dan suatu karya seni pun dapat berperan sebagai media penyampaian terhadap sesuatu, baik perasaan, pesan, amanat, dan sebagainya. Media penyampaian tersebut pun dapat berupa simbol-simbol yang di yakini oleh yang membuat simbol terhadap yang menghayati simbol tersebut.

Di dalam kesenian jentreng tarawangsa ada banyak simbol-simbol yang hadir di dalamnya. Dan simbol-simbol tersebut di yakini oleh sebagian masyarakat dusun Cijere. Simbol-simbol pada kesenian jentreng tarawangsa hadir dalam bentukan tata cara kesenian, bentuk material, serta penamaannya.

Kata tarawangsa sendiri mempunyai arti bagi beberapa masyarakat dusun Cijere, menurut salah satu narasumber yang kami temui, tarawangsa di ambil dari bahasa sunda yang terbagi menjadi dua kata yaitu tara (tidak pernah) dan mangsa (waktu). Jadi kata tarawangsa itu sendiri yaitu “tidak pernah, tidak memberikan apapun ketika waktunya”. Maksudnya adalah bahwa ketika pada saat pelaksanaan kesenian jentreng tarawangsa di lakukan, biasanya masyarakat sekitar tidak pernah tidak memberikan baik barang ataupun jasa. Jadi mereka ikut bergotong royong melaksanakan kesenian tersebut dan dengan ikhlas untuk memberikan apa yang mereka punya demi kelancaraan pelaksanaan kesenian jentreng tarawangsa. Sedangkan nama jentreng tersendiri lahir dari hasil bunyi yang di keluarkan alat musik ini. Bunyi tersebut seperti terdengar berbunyi “ jentrang, jentreng ”

a. Bentuk Simbolis pada Alat Musik serta lagu yang di mainkan pada kesenian Jentreng Tarawangsa.

Biasanya alat musik jentreng dan tarawangsa terbuat dari kayu pohon jengkol, kayu kananga, ataupun kayu dadap. karena kayu-kayu tersebut di nilai cukup bagus untuk mengeluarkan suara yang di hasilkan kedua alat musik tersebut. Dan warnanya pun biasanya kebanyakan berwarna hitam dan coklat.
Jentreng dan tarawangsa tabu untuk bisa dipisahkan ataupun di tambah alat musik lain dalam prakteknya, karena keterkaitan antara jentreng dan tarawangsa mempunyai arti bahwa di dunia ini diciptakan laki-laki dan perempuan untuk berpasang-pasangan.
Tarawangsa mempunyai bentuk hampir menyerupai dengan rebab. Tingginya kurang lebih hampir 50 cm, dan tidak terlalu banyak hiasan pada alatnya hanya terdapat sedikit hiasan pada bagian kepalanya saja. Bagian dari tarawangsa pun terdiri atas :

• Raray, bagian atas tarawangsa, dan diartikan sebagai kepala/muka.
• Wangkis (badan), di artikan sebagai badan dalam tarawangsa.
• Tihang, leher atau pemisah antara badan dan kepala.
• Peureut, yaitu bagian pemutar senar / kawat yang befungsi untuk mengatur ketegangan kawat (menyetem).
• Kekeset, alat penggesek dalam alat musik tarawangsa. Biasanya kekeset ini terbuat dari kayu pada batangnya dan dan pada tali kekesetnya tebuat dari buntut kuda/senar.
• Inang, yaitu kawat yang di pakai sebagai senar. Dalam alat musik tarawangsa, jumlah inang terdiri atas 2 inang. Yang mempunyai arti bahwa di dalam dunia ini hanya diciptakan 2 jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan

Sedangkan, jentreng mempunyai bentuk seperti kecapi. Jentreng pun terdiri atas :

• Wangkis (badan), di artikan sebagai badan dalam jentreng
• Peureut, yaitu bagian pemutar senar / kawat yang befungsi untuk mengatur ketegangan kawat (menyetem).
• Inang, yaitu kawat yang di pakai sebagai senar. Dalam alat musik jentreng, jumlah inang terdiri atas 7 inang, yang mempunyai arti bahwa dalam satu minggu terdiri atas 7 hari.
Jika jumlah inang pada kedua alat musik itu disatukan, maka jumlah inangnya pun menjadi 9, yang artinya bahwa di dalam sejarah penyebaran islam terdapat Sembilan tokoh agama yang menyebarkan agama islam di Nusantara ini, Sembilan tokoh agama yang diakui tersebut di kenal dengan sebutan “ Wali Songo “
Nada pada kedua alat musik ini masih tetap menggunakan nada-nada pada karawitan sunda, yaitu : “da, mi, na, ti, la, da”, biasanya menggunakan laras pelog dan laras salendro.
Pada alat musik tarawangsa hanya ada 2 kawat, kawat yang sebelah kanan bernada la, sedangkan kawat di sebelah kiri bernada da.
Lagu-lagu dalam kesenian jentreng tarawangsa di daerah Rancakalong terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :
• Lagu pokok, ( lagu yang wajib di mainkan dalam kesenian jentreng tarawangsa ) dengan urutanya :
- Saur, “nyauran” mengajak masyarakat untuk menyaksikan kesenian tarawangsa. Ini dilakukan ketika saehu melakukan ijab Kabul dengan kuncen.
- Pangairan, ini dilakukan ketika saehu laki-laki memanggil roh leluhur. Dalam upacaranya saehu laki-laki melakukan putaran keempat arah mata angin (opat kalima panca)
- Pamapag, (mapagkeun) saehu mengantarkan para leluhur untuk hadir dalam upacara.
- Mataraman , saehu laki-laki sudah mulai menari-nari.
- Iring-iringan, para saehu wanita masuk dan sambir iring-iringan membawa ineban (padi buhun yang di bawa dalam sebuah mangkuk yang di bungkus kain). Ineban ini mempunyai arti sebagai hasil bumi yang telah di panen oleh masyrakat.
- Eupat eundang, saehu wanita kembali ke tempat semula sambil menyimpan ineban ke goah (kamar tempat keluarnya para saehu wanita)

• Lagu pilihan, seperti : ayun ambing, jemplang, karatonan, buncis, angin-angin, kembang gadung, dll.

b. Simbol-simbol yang hadir dalam Sesajen serta Perlengkapan Upacara pada Kesenian Jentreng Tarawangsa.

Sudah menjadi keharusan bahwa jika sebelum melaksanakan upacara yang bersifat ritual ataupun mistis haruslah menyediakan bermacam sesajen serta perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan. Sesajen merupakan salah satu media persembahan kepada para dewa, roh , arwah para leluhur. Sesajen dalam kesenian jentreng tarawangsa bertujuan agar dalam pelaksanaan upacara dapat di berikan kelancaran serta keselamatan ketika pelaksanaannya. Di dalam kesenian jentreng tarawangsa terdapat beberapa sesajen serta makna-maknanya, diantaranya :

1. Daun hanjuang, di nilai bahwa daun hanjuang ada hampir di semua belahan dunia. Dan daun hanjuang pun diartikan sebagai pemerintahan, yang hadir di setiap Negara di seluruh dunia.
2. Hihid, kipas yang terbuat dari serat bambu. Artinya manusia itu pasti mempunyai nafsu amarah dan nafsu amarah itu harus di kipas agar menjadi lebih tenang / dingin.
3. Kendi, berbentuk bulat. Manusia harus mempunyai hati yang bulat dan teguh.
4. Tumpukan sirih yang di ikat, manusia harus saling bersatu dalam satu rumah tangga.
5. Telur, hati manusia harus bulat dan yakin atas semua keputusannya.
6. Beras, hasil yang di berikan oleh Dewi Sri, serta menjadi bentukan rasa syukur.
7. Minyak kelapa, manusia harus leuleus hate (lembek hati).
8. Kemenyan, perantara untuk memanggil roh gaib lewat aromanya. Karena kemenyan di percaya sebagai aroma kesukaan para roh gaib.
9. Kembang tujuh rupa (kenanga, mawar, srikaya, karniem, melati, dsb), mengartikan bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam sifat manusia. Arti tujuh sendiri adalah hanya 7 hari yang di tetapkan dalam seminggu.
10. Keris, mempunyai nilai keramat dan diartikan sebagai ayah.
11. Pakaian perempuan dan wanita, serta alat-alat kecantikan (sisir, cermin, bedak, dsb) di khususkan kepada yang gaib untuk memakai pakaian tersebut serta berdandan, agar dapat hadir dalam pelaksanaan upacara.
12. Kain putih (alas sesajen), hidup sebagai manusia harus ada dalam lingkungan yang baik (putih, bersih).
13. Cerutu, di nilai sebagai rokok yang di gemari para roh gaib.
14. Ayam bakakak, sebagai manusia haruslah pasrah diri kepada Yang Maha Kuasa seperti bakakak ayam.
15. Buah-buahan, hasil bumi yang telah di berikan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam hidup ini manusia haruslah membuahkan hasil.
16. 8 gelas, di percayai bahwa bulan ke-8 adalah waktu tiba para leluhur di desa Rancakalong setelah meminta benih padi dari kerajaan Mataram.
Isi dari 8 gelas tersebut :
• Rujak pisang, diartikan bahwa menjadi manusia harus seperti pisang, hijau luarnya namun berhati putih dan manis budi pekerti.
• Rujak asem, diartikan bahwa menjadi manusia janganlah berhati asam (sinis, licik).
• Rujak kelapa, artinya menjadi manusia harus seperti parutan kelapa bergerumul / berbarengan dan berhati bersih.
• Rujak kembang, artinya menjadi manusia haruslah bisa mengharumkan nama bangsa dan Negara.
• Kopi hideung (hitam), diartikan bahwa menjadi manusia haruslah “hideng” (mandiri) dalam melakukan sesuatu.
• Bajigur, artinya meskipun semua orang menilai keruh terhadap kita namun kita harus tetap manis seperti bajigur.
• Teh tubruk diartikan bahwa menjadi manusia janganlah pahit hati.
• Gula merah, diartikan bahwa menjadi manusia haruslah mempunyai sifat manis senyum ke semua orang.
17. 2 buah uang logam, di dalam kehidupan kita ada kedua orang kita yang mengurus dan menafkahi kita sebagai manusia.
18. Kukus, tempat pembakaran kemenyan. Kukus di artikan sebagai manusia yang mempunya nafsu seperti bara api.
19. Bubur beureum / bubur bodas (merah, putih), menandakan warna dalam bendera Indonesia.
20. Opak, kolontong, wajit, ranginang. Makanan khas masyarakat Cijere. Yang semuanya hasil bumi, dan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Kuasa.
21. Nasi di bentuk seperti kerucut, menandakan bahwa manusia harus mempunyai hati yang jujur, dan menjunjung nama baik bangsa dan Negara.
22. Ikan Mas, dinilai dengan bersih, lincah dalam melakukan aktivitas, serta banyak di sukai oleh semua orang.
23. Boboko (tempat nasi), diartikan sebagai nusantara adalah tempat kita yang mempunyai hasil bumi yang berlimpah, untuk menghidupi kita semua.
24. Buah kelapa, diartikan bahwa menjadi manusia harus selalu berguna, seperti kelapa yang mempunyai kegunaan pada setiap yang di milikioleh buah kelapa. Berhati bulat serta mempunyai ilmu (seperti kelapa mempunyai isi).
25. Bunga, berisi nasehat bahwa generasi muda harus segar, berwarna-warni hidupnya (Banyak pengalaman), serta dapat mengharumkan nama bangsa dan Negara.
26. 2 pasang boneka laki-laki dan perempuan, isi di dalam boneka tersebut adalah ketan (pada boneka laki-laki) dan padi (pada boneka perempuan). Ini diartikan sebagai 2 jenis kelamin yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, dan mereka di ciptakan berpasang-pasangan. Sedangkan padi pada perempuan di artikan sebagai dewi ibu / dewi keseuburan pada masyarakat sunda. Dan ketan diartikan sebagai pasangannya.
Didalan material sesajen tersebut dapat kita lihat, hampir semua bentukan sesajen ada pada asyarakat agraris. Ini disebabkan faktor alam yang menyediakan komponen-komponen tersebut. misalnya saja padi, padi yang merupakan hasil bumi pada masyarakat agraris. Ataupun ketika kami melakukan penelitian di tiap-tiap rumah masyarakat dusun cijere ini kami di sediakan makanan berupa wajit, opak, kolontong, dan ranginang. Wajit merupakan makanan yang terbuat dari gula merah dan kelapa, jadi jika di lihat pada sisitem mata pencaharian di masyarakat dusun Cijere, mereka masih bermata pencaharian sebagai pembuat gula merah serta mempunyai perkebunan kelapa. melihat dari faktor-faktor tersbut maka kami dapat menyimpulkan bahwa komponen-komponen dalam sesajen tersebut adalah hasil dari apa yang mereka dapatkan. Karena dalam sejarahnya pun sesajen yang mereka buat merupakan hasil gotong royong masyarakat setempat dalam pelaksanaan kesenian jentreng tarawangsa.

c. Simbol dalam tatacara serta pakaian yang di kenakan oleh para penari.

Dalam kesenian jentreng tarawangsa, di lakoni oleh enam orang pemain utama. Yang terdiri oleh satu orang penari laki-laki, yang di sebut dengan saehu laki-laki dan satu penari utama perempuan yang di sebut saehu perempuan, serta empat orang pengiring saehu perempuan.
Pakaian yang diharuskan oleh saehu laki-laki dalam pelaksanaan upacara kesenian jentreng tarawangsa adalah kemeja serta kain bermotif batik kumeli, motif batik ini di penuhi oleh bulatan-bulatan berwarna coklat. Batik tersebut diartikan sebagai sifat seseorang yang bulat pikiran dan hati dalam melakukan segala tindak-tanduknya. Jika batik ini tidak dapat di temukan maka dalam upacara boleh diganti dengan batik perang kesumah, batik ini di pakai oleh para ksatria-ksatria pada jaman kerajaan Mataram. Batik ini diartikan sebagai sifat manusia yang gagah berani dan mau berjuang demi harga dan martabat bangsanya.
Keharusan untuk memakai batik tersebut dikarenakan pada masa kerajaan abad ke-16an, batik tersebut merupakan batik yang hanya di pakai oleh para raja-raja atau bangsawan. Jadi ketika saat upacara kesenian jentreng tarawangsa, saehu laki-laki diharuskan memakai batik tersebut untuk menjaga kesopanan kepada leluhur, karena saehu laki-laki bertugas untuk meminta izin serta meminta berkah kepada leluhur untuk melaksanakan upacara tersebut.
Selain memakai pakaian tersebut, keris pun diwajibkan untuk di ikut sertakan. Karena keris pada masanya merupakan senjata utama para pejuang dalam berperang. Jadi pakaian yang dikenakan oleh saehu laki-laki merupakan pakaian yang dikenakan oleh raja atau bangsawan pada saat itu.

Sedangkan pada saehu perempuan tidak diharuskan memakai sesuatu, akan tetapi hanya memakai kebaya. Ini dikarenakan kebaya merupakan suatu identitas kebudayaan lokal pada masyarakat sunda.
Selain beberapa pakaian tersebut, hadir juga beberapa soder (selendang) dengan beraneka warna. Dan selendang-selendang tersebut konon mempunyai nilai-nilai magis di dalamnya. Hal ini terlihat ketika saat di mulainya acara “ngibing” kesenian jentreng tarawangsa, maka unsur magis pun hadir di dalamnya. Ini terlihat ketika para penari melakukan tariannya sembari memakai selendang tersebut, mereka terlihat seperti seolah tidak sadarkan diri,. Ketika kami melakukan wawancara serta mencoba melakukan tarian tersebut, maka yang di rasakan adalah sesuatu yang di nilai cukup janggal. Dan ketika selendang mulai di pakaikan dan mendengarkan suara nada monoton / statis dari jentreng tarawangsa tersebut, maka penari pun merasakan sesuatu hal seperti antara sadar dan tidak sadar. Setelah itu si penari pun mulai lebih menikmati musik secara lebih dalam. Ketika musik mulai mendominasi alam bawah sadar si penari maka gerakan tarian pun tidak dapat dihentikan sebelum musik jentreng tarawangsa itu berhenti sendiri. Menurut beberapa narasumber yang kami wawancarai, mereka merasakan ada sesuatu yang lain yang mempengaruhi psikis mereka, mereka merasakan alunan musik jentreng tarawangsa tersebut mempengaruhi gerakan menari. Mungkin keadaan antara sadar dan tidak sadar tersebut lebih di kenal dengan sebutan trench. Maka selendang pun di wajibkan di pakai ketika saat ngibing (menari), ini dikarenakan agar ketika pada saat para penari ngibing, maka selendang inilah yang berfungsi sebagai alat perantara agar para leluhur dapat ikut ngibing dengan mereka.

Selendang beraneka warna yang ada pada kesenian tersebut mempunyai arti bahwa manusia di dunia mempunyai beraneka sifat yang berbeda-beda. Warna dalam selendang pun ternyata mempunyai suatu fungsi tersendiri. Warna di dalam selendang tersebut seperti mempunyai tenaga yang berbeda, tergantung warna apa yang di pakai ketika saat menari.

• Selendang warna putih, di identikan dengan putih, bersih, tenang, lambat. Maka ketika penari memakai selendang ini si penari pun akan merasakan tarian dengan tempo tenang, lambat.
• Selendang warna hijau, di identikan dengan tenang namun kuat, segar, asri. Maka ketika penari memakai sendang bewarna hijau, si penari pun akan merasakan tempo menari dengan tenang namun bertenaga, fresh, lebih bersifat statis.
• Selendang warna merah, warna ini di identikan dengan semangat, ceria, menggebu-gebu. Maka ketika si penari memakai selendang tersebut, yang dirasakan saat menari adalah tempo yang cepat, semangat, dan bertenaga.

Tempat , Waktu Serta Tata Cara Pelaksanaan Dalam Upacara

Dalam masalah tempat dan waktu memang terdapat kriteria tersendiri untuk dilaksanakannya kesenian tersebut, kita tahu bahwa kesenian jentreng tarawangsa masih dianggap kesenian yang sangat sakral dalam pelaksanaanya. Di sana hadir unsur-unsur magis yang hadir di dalamnya, maka masyarakat rancakalong khususnya dusun Cijere lebih memilih tempat dan waktunya dilaksanakan pada malam hari serta tempatnya ada pada ruangan tertutup. Karena malam hari dan di dalam ruangan lebih identik dengan suasana yang sepi, kondusif, dan tenang maka untuk pemanggilan roh nenek moyang pun sangat baik jika di laksanakanya pada malam hari. Namun setelah balai adat di dusun desa Cijere di buat maka pelaksanaannya pun lebih sering dilaksanakannya dibalai adat tersebut. Biasanya masyarakat lebih sering melaksanakanya saat ba’da isya dan selesai pada saat sebelum di mulainya adzan shubuh.

Tatacara pelaksanaan dalam upacara kesenian jentreng tarawangsa. 

• Ngukus, berdoa di depan kukusan (tempat pembakaran kemenyan) oleh kuncen, sambil menaburkan kemenyan. Sebelum kemenyan di masukan ke dalam kukus, biasanya para tetua adat mendoakan kemenyan tersebut agar dapat meminta restu terhadap leluhur. Jentreng dan tarawangsa pun di doakan diatas menyan serta diolesi minyak kelapa dan di taburi kembang 7 rupa.
• Ijab Kabul, saehu melaksanakan ijab Kabul kepada orang-orang yang di tuakan serta kepada peserta yang hadir dalam upacara. Saehu mengemukakan maksud dan tujuan dilaksanakannya upacara.
• Ngalungsurkeun, saehu laki-laki melakukan pemanggilan arwah leluhur kepada roh nenek moyang sembari membawa sesajen pakaian untuk nenek moyang. Setelah itu saehu memutar ke semua mata angin. Dengan dimulai dari arah timur. Ini di artikan bahwa matahari muncul dari arah timur , setelah itu menuju ke barat karena menandakan bahwa matahari tenggelam dari arah sebelah barat. Setelah itu kekanan dan kekiri. Yang menandakan kita harus melihat ke kiri dan kanan, Karena kita harus melihat keadaan manusia di sekitar kita. Ini menyadarkan manusia bahwa Tuhan membuat manusia itu sederajat / sama. pandangan akan 4 arah mata angin tersebut serta 1 pusat di tengah. Merupakan pandangan masyarakat sunda kebanyakan yaitu opat kalima panca, yang di identikan pada kelima jari kita.
• Netes, menetapkan maksud dan tujuan sesajen serta menyirami ineban yang berisi padi oleh salah seorang perempuan. Ini di artikan bahwa Dewi Sri yang telah mengirimkan hujan untuk menyuburkan padi.
• Nema pangibuan, mengandung arti sebagai menerima giliran. Seorang panema mempunyai kewajiban untuk melanjutkan tugas yang telah dilaksanakan oleh saehu laki-laki. Setelah saehu laki-laki melakukan tarian maka saehu perempuan bergiliran dengan pengiringnya melakukan tarian sesuai dengan isyarat tertentu. Apabila saehu perempuan beserta pengiringnya sudah melakukan tarian dan tarian tersebut mendekati keadaan trance, maka acara selanjutnya adalah nema syukuran dimana semua peserta upacara diperbolehkan menari secara bergiliran.
• Hiburan, hiburan ini adalah di persilahkannya para peserta untuk ikut menari, biasanya acara ini di bagi dua menjadi dua sesi. Sesi pertama dilakukan oleh para peserta perempuan dan sesi kedua dilakukan oleh para peserta laki-laki.
• Pohaci (icikibung), proses ini kembali di pimpin oleh para saehu. Proses ini meminta terima kasih atas kedatangan arwah para leluhur serta Dewi Sri yang telah ikut dalam upacara tersebut. setelah itu saehu perempuan mulai menebarkan air yang yang berada pada sebuah mangkuk dan di sirami oleh beberapa ikat daun sirih kepada para pengiringnya yang telah memutari saehu perempuan. Setelah itu air di tebarkan kepada seluruh peserta upacara. Proses ini di tunjukan untuk semua orang agar mendapat berkah dari Dewi Sri. Dalam proses ini pun berarti proses untuk mengantarkan arwah leluhur serta Dewi Sri untuk pulang.
• Nginebkeun, proses ini yaitu mengembalikan ineban ke tempat ineban itu dikeluarkan yaitu goah / padiringan. Proses ini dilakukan oleh saehu perempuan beserta para pengiringnya.
• Tutup doa, yaitu prosesi akhir, semua peserta upacara berdoa agar selalu di berikan berkah oleh Yang Maha Kuasa dalam semua hal.



Dilihat dari sejarah, serta nilai dan simbol yang terkandung dalam partikel-partikel keseluruhan yang ada dalam Seni Jentreng Tarawangsa, ternyata masih mempunyai nilai tersendiri pada masyarakat Rancakalong yang masih meyakininya. Meskipun hingga saat ini masyarakat Rancakalong, masih dibayangi akan serangan arus alkulturasi yang terus-menerus menggerogoti keutuhan Seni Jentreng Tarawangsa sendiri.


Jadi mari kita kenali dan pertahankan produk budaya didalam nusantara kita, jika tidak kita lakukan sekarang, mungkin beberapa puluh tahun kedepan, cucu-cucu kita tidak akan pernah menyaksikannya kembali seni budaya di Indonesia. Seni-seni tersebut hanya akan menjadi sejarah dan lenyap dari Nusantara tercinta ini.


*Penelitian dilakukan oleh penulis dan timnya pada tahun 2009. Antropologi.



2 comments: